Ada beberapa jenis berita. Yang paling pendek disebut straight news, yaitu berita singkat padat yang langsung mengabarkan inti berita,
tapi tetap mengandung unsur 5-W 1-H [who
(siapa), what (apa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), how (bagaimana)].
Jika berita tersebut sangat penting untuk segera diketahui
oleh publik disebut stop press, sedangkan jika ditayangkan di layar
televisi atau melalui corong radio disebut breaking news – karena
disiarkan sebagai selingan mendadak di sela-sela acara yang sedang berlangsung.
Contoh : Mantan
Presiden Soeharto telah wafat pada hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB di
Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87
tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Jenasahnya kini disemayamkan di rumah
duka Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, dan segera akan diterbangkan ke
Solo untuk dikebumikan di makam keluarga Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa
Tengah (disiarkan pada tanggal 27 Januari 2008 jam 11:05).
Selain harus mengandung unsur 5-W 1-H, penyusunan struktur
sebuah berita lazim mengikuti apa yang disebut metode “piramida terbalik.”
Maksudnya,
yang pertama-tama ditulis ialah : Inti berita yang penting, kemudian data
yang agak penting, lalu yang setengah penting dan akhirnya data pelengkap yang
kurang penting.
Walaupun singkat padat, susunan straight news tetap
harus mengikuti metode “piramida terbalik.” Pada contoh di muka, yang paling penting ialah
wafatnya mantan Presiden Soeharto,
Sedangkan
makam keluarga Astana Giri Bangun merupakan data pelengkap.
Meskipun
pada contoh stop press tersebut, wafatnya mantan Presiden Soeharto
dianggap sebagai fakta yang penting. Oleh karena itu ditulis di awal berita.
Unsur paling penting
dari sebuah news (berita) ialah when (kapan). Mendengar
berita tentang wafatnya Pak Harto, orang biasanya kontan akan bertanya,
“Kapan?” Dengan demikian, contoh berita tersebut bisa ditulis sebagai berikut:
Hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB, mantan Presiden Soeharto telah wafat
di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87
tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Dan
seterusnya.
Unsur when menjadi sangat penting, sebab tanpa unsur
yang menyebutkan waktu, sebuah peristiwa atau kejadian tidak dapat disebut
sebagai berita. Bahkan, berita mengenai apapun wajib mempunyai “cantolan” atau
“gantungan”, mengapa atau atas dasar apa sebuah peristiwa atau kejadian ditulis
menjadi berita. Yang dimaksud dengan
“cantolan” atau “gantungan” itu lazim disebut sebagai news peg.
Tidaklah mungkin kita ujug-ujug menulis berita atau
artikel mengenai pemerintahan yang represif atau mengenai mega korupsi,
misalnya, tanpa news peg berupa wafatnya Pak Harto. Selain karena
adanya news peg, sebuah kasus menjadi penting diberitakan karena
memang layak ditulis sebagai berita. Kelayakan itu berkaitan dengan magnitude
(bobot) beritanya yang cukup besar.
Bobot berita wafatnya Pak Harto sangat besar, dibanding bobot
meninggalnya camat Pondokgede, misalnya. Bobot berita korupsi Tommy Soeharto
yang milyaran sangat besar dibanding korupsi yang dilakukan seorang guru SMP
Negeri di Kecamatan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang hanya sekitar lima
jutaan rupiah.
Tommy bukan saja anak mantan presiden, kasus korupsinya juga
sangat besar, sementara pak guru SMP selain tidak terkenal, bukan public
figure, ia melakukan korupsi karena terpaksa, gara-gara gajinya tidak
mencukupi. Wafatnya Pak Harto dan kasus korupsi Tommy Soeharto sangat layak
diberitakan, karena selain mereka adalah public figure, kasusnya
menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga bernilai “sangat penting”. Sebuah
kasus perlu juga diberitakan, antara lain karena kejadiannya aneh, langka, atau
unik.
Dalam hal ini
berlakulah kredo sejarawan Inggris, Charles A. Dana, yang pada 1882 mengatakan,
When a dog bites a man, that is not a news. But when a man bites a dog,
that is a news
(Jika anjing menggigit
orang, itu bukan berita. Tapi jika orang menggigit anjing, barulah itu berita).
Maksudnya tentu saja bukanlah semata-mata faktor “menggigit”, melainkan faktor unicum,
keunikan atau keistimewaan dalam suatu berita.
Contoh, kasus Sumanto yang makan daging mayat, seorang ayah
yang membantai isteri dan anak-anaknya, seorang legislator yang selingkuh
dengan selebriti, dan sebagainya.
Ada kriteria lain mengapa sebuah kasus diberitakan. Sesuai
dengan keinginan tahu (curiousity)
seseorang, pers biasanya memberitakan kejadian buruk ketimbang peristiwa
yang baik-baik.
Rumah tangga artis yang sakinah dan mawaddah
(bahagia penuh kasih sayang) dianggap biasa-biasa saja, sedangkan konflik dalam
rumah tangga seorang artis terkenal sehingga mereka bercerai, atau bangkrutnya
seorang pengusaha terkenal, biasanya dianggap lebih menarik untuk diberitakan.
Nah, berita buruk seperti itu biasnya dianggap lebih menarik,
sehingga berlakulah teori – yang sesungguhnya tidak selalu tepat: a bad news is a good news
(berita buruk adalah berita baik). Pengertian good news di sini
bukan berarti “berita baik” melainkan berita yang (biasanya) diminati oleh
kebanyakan publik.
Padahal, rumah tangga bahagia seorang artis, atau sukses
bisnis seorang tokoh, bisa ditulis sebagai success story,
kisah sukses seseorang, yang jika ditulis dengan baik juga menarik untuk
dibaca. Kelayakan sebuah berita juga ditentukan oleh akurasi datanya. Tingkat
akurasi (ketelitian, kecermatan, kebenaran data) menentukan tingkat
profesionalitas.
Seorang wartawan yang menulis berita tidak akurat, bisa dinilai
tidak profesional. Bahkan seorang wartawan yang tidak tepat dalam penggunaan
bahasa Indonesia, juga bisa dinilai tidak profesional. Selain itu, berita yang
baik haruslah berimbang, tidak berat sebelah. Dua pendapat yang saling
bertentangan, dua-duanya harus dimuat secara adil.
Istilah mengenai asas ini disebut cover
both sides atau both sides coverage. Kembali pada straight
news. Sebagai follow up lebih lanjut dari straight news
tersebut, para wartawan menulis berita yang lebih panjang, karena straight
news tentulah belum lengkap, dan hanya merupakan dasar dari sebuah berita
yang lebih panjang dan lengkap.
Beberapa data yang lazim dianggap sebagai pelengkap,
misalnya, jenis penyakit Pak Harto (dengan mewawancarai para dokter
kepresidenan), siapa saja yang melayat di rumah sakit dan acara tahlil di rumah
duka (dengan melakukan reportase), bagaimana rencana pemberangkatan jenazah dan
upacara pemakaman (dengan mewawancarai keluarga Cendana dan reportase di Astana
Giri Bangun), dan sebagainya.
Wafatnya Pak Harto jelas merupakan berita sangat penting,
berita besar, big news. Oleh karena itu para redaktur cepat-cepat
memberikan assignment (penugasan) kepada para reporter untuk menulis
berita yang lebih lengkap. Bahkan beberapa artikel yang berkaitan dengan Pak
Harto, dan perannya selama menjadi presiden (lengkap dengan foto dokumentasi
yang diperlukan) sudah dipersiapkan, begitu Pak Harto dirawat karena sakit
keras.
Misalnya, pemerintahan Pak Harto yang represif, kasus korupsi
bersama kroni-kroninya, dan sebagainya. Begitu Pak Harto wafat, artikel seperti
itu sudah pressklaar, siap cetak.
Ada jenis berita lain yang disebut feature atau news
feature, yaitu tulisan panjang,
lengkap, komprehensif, berimbang, dengan kasus yang magnitude-nya
cukup besar, tapi lebih mementingkan unsur why dan how. Yaitu
“mengapa” atau sebab musabab sampai peristiwa itu terjadi, dan “bagaimana”
proses terjadinya peristiwa tersebut. Selain itu, sebuah feature hendaknya
ditulis dengan gaya bertutur, deskriptif, sedemikian rupa sehingga
susunan kata dan kalimatnya mampu menggambarkan atau melukiskan suatu profil
atau peristiwa tertentu.
Oleh karena itu, feature sesungguhnya sebuah “cerita”, tapi bukan
cerita mengenai fiksi melainkan mengenai fakta. A feature is a story about
facts, not about fiction (feature ialah cerita tentang fakta,
bukan tentang fiksi).
Sedangkan karya tulis tentang fiksi disebut novel, cerita
pendek. Sampai di sini kita diingatkan pada sebuah asas atau dalil klasik dalam
dunia jurnalisme, yaitu mengenai fakta dan opini. Menurut dalil klasik
tersebut, sebuah berita harus hanya
memuat fakta tanpa mengikut sertakan opini, hanya memuat peristiwa-peristiwa
yang terjadi dengan sesungguhnya (facts), tanpa pendapat, komentar,
ulasan atau tafsir (opinion) si wartawan.
Dengan demikian diharapkan berita itu dapat tampil secara
obyektif, seperti apa adanya, tanpa bumbu-bumbu lain, meskipun ditulis dengan
deskripsi (penggambaran) yang persis setepat-tepatnya.. Setelah memahami
sedikit banyak tentang beberapa persyaratan berita yang harus kita
ketahui, maka sampailah kita pada pertanyaan, “bagaimana menulis feature
(yang baik)?”
Sebelum menulis, pertama-tama pilihlah kasus yang (sangat)
menarik, yang menyangkut kepentingan banyak orang (publik), yang prestisius
untuk ditulis. Seorang wartawan atau penulis yang baik dan berpengalaman
biasanya memiliki nose of news (daya cium, daya endus berita), yang
akan selalu bisa terasah jika ia memiliki ”jam terbang” cukup tinggi. Tapi,
nose of news selalu bisa dilatih.
Setelah menemukan obyek, kasus atau item tulisan,
pikirkanlah apa kira-kira angle-nya. Yang dimaksud dengan angle ialah ”sudut pandang”, apa kira-kira masalah yang sangat penting
dan relevan dari kasus tersebut. Untuk menentukan angle biasanya cukup
sulit, sehingga diperlukan pemikiran, perenungan, bahkan diskusi dengan
kawan-kawan.
Sekedar contoh kasus, misalnya, TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
Sampah Bantargebang, Bekasi, yang sampahnya sempat menggunung lalu roboh dan
menewaskan pemulung. Yang juga menarik, misalnya, banjir yang setiap tahun
menggenangi Jakarta, yang disebabkan oleh penataan kota yang tidak disiplin,
peruntukan lahan yang ngawur. Atau tentang Tanahabang Bongkaran,
Jakarta Pusat, sebagai miniatur Indonesia.
Di sana ada preman, pedagang kecil, pegawai negeri, pelacur.
Pokoknya berbagai profesi dan etnis yang berbaur dalam kawasan kumuh sejak
puluhan tahun.
Kasus lain, Soetan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai pendidik
dan ”pemimpi” yang mengidam-idamkan pendidikan bermutu, sebagai pelopor dan
pembina Bahasa Indonesia yang tak kenal lelah.
Setelah cukup mantap dengan salah satu kasus tersebut,
carilah kaitannya dengan news peg. Yang dimaksud dengan news peg ialah ”gantungan cerita”, mengapa kita menulis feature
mengenai sesuatu yang kita yakini sangat menarik minat pembaca.
Mengapa menulis tentang banjir yang menenggelamkan Jakarta?
Karena ada news peg musim hujan di bulan Desember. Kita menerbitkannya
di awal bulan Desember, sesuai dengan news peg-nya, tapi pengerjaannya
bisa dilakukan sejak dua atau tiga bulan sebelumnya.
Mengapa kita menulis mengenai STA? Karena akan kita terbitkan
pas pada hari ulang tahun STA, atau HUT Universitas Nasional, atau HUT
terbitnya majalah Poedjangga Baroe.
Dan seterusnya. Setelah kita menemukan news peg, telitilah apakah
kasus yang akan kita tulis tersebut memenuhi kriteria sebagai item
yang sangat terkait dengan kepentingan publik dan magnitude-nya besar.
Contoh-contoh yang kita paparkan di muka cukup memenuhi
kriteria. Setelah itu, susunlah outline (kerangka tulisan), meliputi lead,
body text, ending. Seorang penulis yang baik selalu membiasakan diri
terlebih dahulu menyusun outline.
Di kalangan para wartawan TEMPO di tahun 1980 dulu,
dikenal semacam credo: “Mau
selamat? Bikinlah outline!” Tapi ingat, cara menyusun outline
tidak gampang. Diperlukan latihan tersendiri.
Kemudian (inilah tugas yang cukup berat) kuasailah
segenap bahan dengan selengkap dan seakurat mungkin. Lakukan reportase yang
mendalam (indeph reporting),
wawancara beberapa narasumber yang relevan, riset berbagai bahan, check and
recheck.
Lakukan pula verifikasi dengan mempertimbangkan both sides coverage. Lakukan semua
itu dengan sepenuh semangat dan gairah, tanpa lelah, tanpa bosan, karena proses
pengumpulan bahan itu mungkin akan berlangsung sampai berminggu-minggu, bahkan
berbulan-bulan.
Namun, ketika kita tengah “berbelanja” bahan-bahan di
lapangan, bisa jadi outline akan berubah. Dalam hal ini, yang sangat
penting harus dilakukan ialah indeph
reporting (reportase mendalam),
ialah reportase dan wawancara dari berbagai aspek, sehingga mampu menggambarkan
kasus, masalah, atau sosok yang akan kita tulis.
Langkah berikut ini lebih sulit lagi, yaitu langkah
menulis — yang harus setia dengan outline, meskipun ada kemungkinan outline
bisa berubah di tengah jalan. Mula-mula, tulislah lead yang bagus. Lead adalah kalimat pertama sebagai pembuka, yang harus menarik (baik
bahasa maupun materinya) agar supaya pembaca tertarik untuk terus membaca.
Dan itulah fungsi lead yang sebenarnya.
Selanjutnya melangkah
ke body text, yang hendaknya ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik
dan benar (tapi populer), deskriptif (bertutur, berkisah), dengan alur cerita
yang setia pada outline, dan tetap selalu memperhatikan ”gerak
pendulum” sehingga tulisan tetap terfokus pada angle.
Pendulum ialah bandul
yang menggantung pada seutas tali. Pendulum selalu bergerak dari arah kiri ke
arah kanan, berganti-ganti, dan pasti selalu melewati bagian tengah yang searah
dengan lurusnya tali tempat pendulum bergantung. Itulah yang dimaksud dengan
“gerak pendulum.”
Artinya, biarpun sang
pendulum bergerak ke kanan atau ke kiri, pasti selalu kembali ke tengah, searah
dengan tali gantungan pendulum. Pendulum melambangkan perkembangan cerita yang
ditulis dalam sebuah feature, sedangkan tali penggantung melambangkan angle.
Jika seluruh bahan cerita sudah ditulis dalam body text,
tibalah saatnya kita menulis ending, akhir dari sebuah tulisan. Ending
bisa berupa kesimpulan, bisa pula suatu kejadian lucu (atau tragis dramatis),
yang setidak-tidaknya bisa dianggap sebagai suatu kesimpulan. Atau bisa pula
berupa persoalan atau pertanyaan yang mengambang, yang tidak perlu dijawab.
Sebagaimana lead ada yang menarik dan tidak, ending juga ada
yang menarik dan tidak.
Tentu saja kita harus memilih yang menarik. Untuk menulis lead
dan ending yang menarik, memang dibutuhkan latihan dan “jam
terbang” sebagai penulis yang cukup lama.
Bagaimana feature
yang bagus?
Sebuah feature
yang bagus ialah yang lengkap, komprehensif, akurat, dengan verifikasi yang
memadai. Lebih hebat lagi jika feature tersebut merupakan hasil
reportase investigasi (investigative reporting), sebuah tulisan yang exclusive
(sangat khas, lain dari yang lain) dan ditulis dengan gaya literary
journalism, jurnalisme literair.
Apakah itu investigative
reporting, karya jurnalisme yang exclusive, dan gaya literary
journalism? Ketiga-tiganya – sebagai tingkat lebih lanjut dari
penulisan feature — merupakan pembahasan dalam sebuah diskusi
tersendiri.
Makasi min.. Sukses buat blognya
BalasHapus