MAXIMILIAN
WEBER
Maximilian Weber
(lahir di Erfurt,
Jerman,
21 April
1864 – meninggal
di München,
Jerman,
14 Juni
1920 pada umur 56 tahun)
adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang
dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara
modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama
dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi.
Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi
agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi
perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang
terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara
sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik
secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu
politik Barat modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama
Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India:
Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno.
Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada
1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno
dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan
awal dan Islam.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam
kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan
pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa
budaya Barat
dan Timur
berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya,
Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan
(dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem
ekonomi Eropa
dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa
hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut.
Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme
terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan
dengan matematika,
ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi,
sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan
dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber,
semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi
dari magi, yakni "pembebasan dunia dari
pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai
aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
AUGUST
COMTE
August Comte
atau juga Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François
Xavier Comte;lahir di Montpellier, Prancis,
17 Januari
1798 – meninggal
di Paris,
Prancis,
5 September
1857 pada umur 59 tahun)
adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi".
Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah
dalam ilmu sosial.
Comte dan Positivisme
Comte
adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya
bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian
empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan.
Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat
optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri
filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi
guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang
harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses
perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3
tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap
metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat
industri.
Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie
Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis
dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya
itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet). Bagi
Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
- Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
- Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
- Metode ini berusaha ke arah kepastian
- Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu
pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu
biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku
bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai
perkambangan gagasan-gagasan.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte
termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa
strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan
berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam
yang mengendalikan manusia dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan
institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte
juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisk yang
kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung.
Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian
empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian
dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk
itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh
bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini
[eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak
semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu
Eksperimen, metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode
ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya
metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan
menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan
masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu,
pertama, Tahap
Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam
periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu
bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan
bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme,
muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya
atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan
dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Kedua,
Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap
positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang
asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
Ketiga, Tahap Positif
ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak
mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka
secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan
menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris
akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat
uniformitas.
Comte
mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus
yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu
kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau
masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila
seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang
ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan
masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada
tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap
metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan)
menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan
sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan
disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya
Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam
masyarakat positif ini).
KARL MARX
Karl Heinrich Marx
(lahir di Trier,
Jerman,
5 Mei
1818 – meninggal
di London,
14 Maret
1883 pada umur 64 tahun)
adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.
Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia
paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah,
terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah
dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah
tentang pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat
pembuka dari Manifesto Komunis.
Akhir dari Kapitalisme
Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang
berasal dari kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis
tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme
akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Di lain tangan, Marx
menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari
kelas kerja internasional. “Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh
negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil
dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.
Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan
yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari
yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi
Jerman-
Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik
kontroversi. Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi
dan politik sampai saat ini. Dalam bukunya Marx, Das Kapital
(2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi
penelitian David McLellan yang
menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak
menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi
oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.
Marx Menikah pada tahun 1843 dan segera terpaksa
meninggalkan Jerman
untuk mencari atmosfir yang lebih liberal di Paris. Disana ia terus
menganut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mendalami dua
gagasan baru –sosialisme Prancis dan ekonomi politik Inggris.
Inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme,
dengan ekonomi politik yang membangun orientasi intelektualitasnya.
Di Perancis ia bertemu dengan Friedrich
Engels sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya dan
kolaboratornya. Engels adalah anak seorang pemilik pabrik tekstil, dan menjadi
seorang sosialis yang bersifat kritis terhadap kondisi yang dihadapi oleh para
kelas pekerja. Kendati Marx dan Engels memiliki kesamaan orientasi teoritis,
ada banyak perbedaan diantara kedua orang ini. Marx cenderung lebih teoritis,
intelektual berantakan, dan sangat berorientasi pada keluarga.
Engels adalah pemikir praktis, seorang pengusaha yang rapi dan cermat, serta
orang yang sangat tidak percaya pada institusi
keluarga.
Banyak kesaksian Marx atas nestapa kelas pekerja berasal
dari paparan Engels dan gagasan-gagasannya. Pada tahun 1844 Engels dan Marx
berbincang lama disalah satu kafe terkenal di Prancis dan ini mendasari pertalian
seumur hidup keduanya. Dalam percakapan itu Engels mengatakan, “Persetujuan
penuh kita atas arena teoritis telah menjadi gamblang...dan kerja sama kita
berawal dari sini”. Tahun berikutnya, Engels mepublikasikan satu karya penting,
The Condition of the Working Class in England.
Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak
diantaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya), termasuk The Holy
Family dan The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan
Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philosophic Manuscripts of
1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah
ekonomi.
Di tengah-tengah perbedaan tersebut, Marx dan Engels
membangun persekutuan kuat tempat mereka berkolabirasi menulis sejumlah buku
dan artikel serta bekerja sama dalam organisasi
radikal, dan bahkan Engels menopang Marx sepanjang hidupnya sehingga Marx
menagbdikan diri untuk petualang politik dan intelektualnya. Kendati mereka
berasosiasi begitu kuat dengan nama Marx dan Engels, Engels menjelaskan bahwa
dirinya partner junior Marx.
Sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal
memahami karya Marx. Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara
terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia
tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx. Karena
beberapa tulisannya meresahkan pemerintah Prussia,
Pemerintahan Prancis
pada akhirnya mengusir Marx pada tahun 1945, dan ia berpindah ke Brussel.
Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner
internasional. Ia juga bergabung dengan liga komunis dan diminta
menulis satu dokumen yang memaparkan tujuan dan kepercayaannya.
Hasilnya adalah Communist Manifesto yang terbit pada
tahun 1848, satu karya yang ditandai dengan kumandang slogan politik.
Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi
politiknya
pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner lalu beralih
ke penelitian
yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem
kapitalis. Pada
tahun 1852, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme
di British
Museum. Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital,
yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867; dua jilid lainnya terbit setelah
ia meninggal. Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu
bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari
bantuan Engels.
Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan
bergabung dengan gerakan pekerja
Internasional. Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama
beberapa tahun di dalamnya. Namun disintegrasi yang terjadi di dalam gerakan
ini pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang
dideritanya menandai akhir karier Marx. Istrinya meninggal pada tahun 1881,
anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri meninggal pada tanggal 14 Maret 1883.
Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar
dimengerti. Ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam
perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal. Pengaruh ini berkembang
karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia.
Ide Marxian baru mulai mendunia pada abad ke-20.
THOMAS HOBBES
Thomas Hobbes
adalah seorang filsuf
Inggris
yang beraliran empirisme. Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia
dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta pandangan tentang hubungan
manusia dengan sistem negara. Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang
kajian moral
di Inggris serta filsafat politik, khususnya melalui bukunya
yang amat terkenal "Leviathan". Hobbes tidak hanya terkenal di Inggris tetapi
juga di Eropa Daratan. Selain dikenal sebagai filsuf,
Hobbes juga terkenal sebagai ahli matematika
dan sarjana klasik. Ia pernah menjadi guru matematika Charles II
serta mempublikasikan terjemahan atas Illiad dan Odyssey
karya Homeros.
Inti pemikiran Hobbes berakar pada empirisme (berasal dari
bahasa Yunani empeiria yang berarti 'berpengalaman dalam, berkenalan
dengan'). Empirisme menyatakan bahwa pengalaman adalah asal dari segala
pengetahuan. Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang
efek-efek atau akibat-akibat berupa fakta yang dapat diamati. Segala yang ada
ditentukan oleh sebab tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti
dan ilmu alam. Yang nyata adalah yang dapat diamati oleh indera manusia, dan
sama sekali tidak tergantung pada rasio manusia (bertentangan dengan rasionalisme).
Dengan menyatakan yang benar hanyalah yang inderawi, Hobbes mendapatkan jaminan
atas kebenaran.
Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian
filsafat. Hobbes berpendapat bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan
religius. Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah
yang bergerak beserta ciri-cirinya. Menurutnya, substansi yang tak dapat
berubah, seperti Allah,
dan substansi yang tak dapat diraba secara empiris, seperti roh, malaikat,
dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat. Hobbes menyatakan bahwa filsafat
harus membatasi diri pada masalah kontrol atas alam.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam filsafat,
yakni:
- Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang.
- Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka.
- Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi. Maksudnya, refleksi atas hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya.
- Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial.
Hobbes menyatakan bahwa keempat bidang tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Karena itulah, Hobbes berpandangan bahwa masyarakat
dan manusia dapat dilihat melalui gerak dan materi dalam fisika.
Tentang pengenalan
Sebagai penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman semata-mata. Tidak seperti kaum rasionalis,
pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis. Pengenalan dengan
akal dimulai dengan kata-kata yang menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang
sebenarnya sesuai dengan kebiasaan saja. Pengertian-pengertian umum hanyalah
nama belaka, yaitu sebagai nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan
nama benda pada dirinya sendiri. Pengamatan indrawi terjadi karena gerak
benda-benda di luar manusia yang menyebabkan adanya rangsangan terhadap indra
manusia. Rangsangan tersebut diteruskan ke otak, dan dari otak ke jantung.
Di dalam jantung timbullah reaksi tertentu yang merespons pengamatan tersebut.
Manusia
Pandangan Hobbes tentang manusia dimulai dengan pertanyaan:
apa yang menggerakkan manusia? (what makes him tik?). Di sini, Hobbes
membandingkan manusia dengan sebuah jam tangan yang bergerak secara teratur
karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Hobbes memandang manusia secara
mekanis belaka. Manusia adalah setumpuk material yang bekerja dan bergerak
menurut hukum-hukum ilmu alam. Untuk itu, ia menyingkirkan segala macam
anggapan moral-metafisik tentang manusia. Misalnya saja, pandangan bahwa
manusia memiliki kodrat sosial, kebebasan, keabadian jiwa, dan sebagainya. Jiwa
dan akal budi hanya dianggap sebagai bagian dari proses mekanis di dalam tubuh.
Setelah mengetahui seluruh kaitan antara onderdil-onderdil
dari sebuah jam tangan, maka kita dapat mengetahui prinsip kerja yang
menyebabkan jam tangan itu bergerak. Kesimpulan akhir Hobbes mengenai faktor
penggerak manusia adalah psikis manusia, yakni nafsu.
Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri,
atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa. Dari dasar pemikiran
itulah Hobbes kemudian merumuskan pandangannya tentang negara yang amat terkenal.
Negara
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya
besarnya yang berjudul "Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di
dalam mitologi
Timur Tengah
yang amat buas. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu
sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti
oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat
mengalami ketertiban dan kebahagiaan.
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat
bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri
atau takut akan kehilangan nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa
mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu
kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia
akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin.
Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya,
supaya setiap orang berbuat baik.
Terbentuknya negara
Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia
hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan
diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap
manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi
sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan
semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah "keadaan
alamiah" saat belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus
terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga
terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk
mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan
ketertiban.
Status negara
Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib
rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara
sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian
antar-warga negara.
Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga
negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara
sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban
untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas seluruh warga negara
dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan
mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi
yang melanggar, termasuk hukuman mati.
Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan
insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk
patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan
warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang
ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.
Pembatasan kekuasaan negara
Jikalau kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat
dituntut oleh warga negara, bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh
negara menjadi amat besar? Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes
menyatakan dua hal.
Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa
mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggung jawabkan
di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.
Kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga
negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian
akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada
situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk
selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.
Pengaruh
Tulisan-tulisan Hobbes, khususnya "Leviathan",
sangat mempengaruhi seluruh filsafat politik dan filsafat moral di Inggris pada
masa-masa selanjutnya. Di Eropa Daratan, Hobbes juga membawa pengaruh kuat.
Salah satu filsuf besar yang dipengaruhi Hobbes adalah Baruch
Spinoza. Spinoza dipengaruhi Hobbes di dalam pandangan-pandangan
politik dan juga bagaimana berhubungan dengan Alkitab.
Hobbes juga merupakan salah seorang filsuf, jika bukan yang
pertama, yang amat berpengaruh dalam perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme. Selain itu,
ia juga merupakan salah satu filsuf bahasa yang paling penting karena ia
berpandangan bahwa bahasa bukan hanya digunakan untuk menjelaskan dunia, tetapi
juga untuk menunjukkan perilaku-perilaku dan juga untuk mengikat janji dan
kontrak.
Kemudian Hobbes juga berpengaruh di dalam studi kontraktarianisme.
Kontraktarianisme merupakan bagian dari teori-teori moral dan politik yang
menggunakan ide teori kontrak sosial. Hobbes merupakan salah satu filsuf
kontrak sosial tradisional yang menggunakan ide kontrak sosial untuk menegaskan
peran negara. Di sini, Hobbes merupakan pionir dari salah satu dari dua argumen
moral tentang kontrak sosial yang ada. Satu jenis argumen moral tentang kontrak
sosial lainnya diberikan oleh Immanuel Kant.
Selain itu, Hobbes juga merupakan filsuf modern pertama di
dalam bidang sensasionalisme.
Sensasionalisme adalah pandangan yang menganggap semua keadaan mental, secara
khusus kognitif manusia, beraal dari komposisi atau asosiasi-asosiasi dari
sensasi atau perasaan belaka.
LAEYENDECKER
Semua ilmu yang ada saat ini dibentuk berdasarkan konteks
sosialnya, tidak terkecuali ilmu sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari dinamika masyarakat. Kelahiran ilmu sosiologi tak lepas dari proses
perubahan jangka panjang yang melanda masyarakat Eropa Barat pada Abad
Pertengahan.
Menurut Laeyendecker, perubahan-perubahan tersebut antara
lain :
1. Tumbuhnya sistem kapitalisme pada
abad ke-15.
2. Perubahan tatanan sosial dan
politik dari bentuk kerajaan sentralistis menjadi bentuk-bentuk gilda kemudian
menjadi merkantilisme.
3. Perubahan konsep keagamaan
Kristen yang dibawa oleh Martin Luther King (Protestan).
4. Runtuhnya kekaisaran Islam.
5. Meningkatnya paham
individualisme.
6. Antusiasme masyarakat yang tinggi
akan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, cikal-bakal sosiologi bisa dikatakan
merupakan bagian dari pergulatan masyarakat Eropa Barat pada masa Renaissance
(kelahiran kembali).
Selanjutnya, Laeyendecker mengemukakan bahwa
terdapat dua peristiwa penting yang mematangkan ilmu sosiologi, yaitu
1. Revolusi Prancis (1787-1799)
2. Revolusi Industri di Inggris
(1760-1840)
Ilmu Sosiologi mempunyai tradisi yang kuat di tiga Negara
Erop, yakni Prancis, Jerman (dulu Prusia) dan Inggris. Hal ini karena pada
masanya, ketiga Negara inilah yang mengalami pergolakan sosial yang dahsyat. Di
Prancis, Monarki kehilangan otoritasnya dan timbul kelas sosial yang baru. Di
Jerman Otto Von Bismarck, sang Perdana menteri membawa perubahan radikal di
bidang industri dan politik, sementara di Inggris, James Watt yang menemukan
mesin uap telah mengantarkan Inggris kepada varian sistem industrial baru yang
dengan sendirinya berpengaruh terhadap struktur masyarakat luas.
Sebelum Perang Dunia II, ilmu sosiologi di Indonesia hanya
dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata
lain, pada saat itu sosiologi belum dianggap berdiri sendiri dan terlepas dari
ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (Rechtshogeschool)
di Jakarta pada waktu itu merupakan satu-satunya perguruan tingggi yang
memberikan kuliah sosiologi di Indonesia. Akan tetapi, ilmu sosiologi hanya
sebagai pelengkap bagi mata kuliah ilmu hukum.
Baru setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, seorang
sarjana Indonesia, Soenario kolopaking, untuk pertama kalinya memberikan kuliah
sosiologi pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta. Di Akademi tersebut
sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam jurusan pemerintahan
dalam negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Sejak saat itu, banyak
sekali orang Indonesia yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang sosiologi.
Hal ini lah yang menjadi pendorong berkembang dan meluasnya ilmu sosiologi di
Indonesia.
EMILE DURKHEIM
David Émile Durkheim
(15 April
1858 - 15 November
1917) dikenal sebagai
salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di
sebuah universitas Eropa
pada 1895,
dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial,
L'Année Sociologique
pada 1896.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat
dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal
seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk
mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha
menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert
Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan
keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada
fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada
sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber,
ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari
setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta
sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan
fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan
individu.
Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang
independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan
individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui
fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat
terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti
bagaimana tatanan sosial
dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan
meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional
dan masyarakat modern. Para
penulis sebelum dia seperti Herbert
Spencer dan Ferdinand Toennies
berpendapat bahwa masyarakat berevolusi
mirip dengan organisme
hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks
yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit.
Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan
teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia
berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan
dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional,
kata Durkheim, kesadaran kolektif
sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku
sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian
kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas
'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan
sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena
mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam
masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat
yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang
sama.
Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja
memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam
produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Akibat dari pembagian kerja yang
semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual
berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah
berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu
masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan
bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat :
represif: pelaku
suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan
membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu
bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam
masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat
restitutif:
ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal
dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin
meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan
semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang
akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang
mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie.
Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol
adalah bunuh diri.
Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan.
Hal ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru,
dan ia menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum
untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas
mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan
dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang
sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum)
dalam masyarakat modern.
Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan
kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi
orang-orang dewasa.
Durkheim
berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
1)
Memperkuat solidaritas sosial
- Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti.
- Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2)
Mempertahankan peranan sosial
- Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.
3)
Mempertahankan pembagian kerja.
- Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang baca Jangan lupa comment ya . . . .
Kalo mau copas, izin dulu ya . . .
:)